Hutan ditempat kita......
Kebumen adalah sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini mendapat julukan sebagai kota Beriman (bersih, indah, aman, nyaman). Di Kabupaten Kebumen, total luas hutan negara dan hutan rakyat 39.317,2 hektar atau sekitar 30,68 persen dari 128.111,5 hektar luas wilayah Kabupaten Kebumen.
Tertulis di sebuah prasasti yang ditemukan di desa Sumberadi, pada tahun 1475 Kebumen merupakan daerah hutan lebat yang masih dapat dijumpai rawa-rawa. Pada sekitar tahun 60-an di Kebumen Utara masih dapat kita jumpai hutan dengan bukit-bukit yang menjulang tinggi. Pada sekitar era 80-an masyarakat Kebumen mulai membangun pertambangan pasir, batu, maupun material berat lainnya di wilayah Karangsambung. Selain itu, karena bertambahnya populasi masyarakat Kabupaten Kebumen, masyarakat mulai membangun permukiman dan mulai membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Hal itu menyebabkan luas hutan Kebumen berkurang lebih dari 30 persen dalam kurun waktu 5 tahun. Akibatnya lahan kritis di Kabupaten Kebumen meningkat, Dinas Perhutanan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Kebumen mencatat, luas lahan yang berpotensi manjadi lahan kritis mencapai 12.830,6 hektar, agak kritis 12.233,5 hektar dan lahan yang sudah kritis 10.275 hektar. Meningkatnya luas lahan kritis di Kebumen disebabkan oleh beberapa hal, antara lain deforestasi dan degradasi.
Deforestasi
Deforestasi terjadi karena adanya konversi hutan untuk pertanian, perkebunan, permukiman, pertambangan dan prasarana wilayah. Menurut data State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO), angka deforestasi Indonesia pada tahun 2000-2005 adalah 1,8 juta hektar/tahun. Kalau kita berjalan-jalan di wilayah pegunungan di Kebumen, atau bahkan sampai puncaknya, kita akan menjumpai hamparan ladang singkong ataupun tanaman palawija lainnya. Contohnya di wilayah bukit Pranji, Kecamatan Sruweng dan di wilayah bukit Watu Gede, Kecamatan Alian dapat kita jumpai ladang singkong dan kebun jambu biji di lereng bukit itu, namun tidak hanya di kedua bukit tersebut. Pada bukit lainynya di Kabupaten Kebumen kita juga dapat menjumpai ladang singkong dan kebun jambu di puncaknya.
Sumber daya alam Kabupaten Kebumen sangatlah melimpah, selain daerah pantai yang menyediakan berton-ton ikan setiap harinya, Kebumen juga mempunya hutan yang menyediakan berbagai macam hasil bumi yang melimpah. Selain menyediakan kayu, hutan Kebumen juga menyediakan bahan tambang seperti batu, pasir dan material berat lainnya. Contohnya di daerah desa Karangpoh, daerah pertambangan yang awalnya hanya seluas ± 20m2, kini luasnya melebihi luas sebuah lapangan sepak bola.
Menurut penuturan salah satu pegawai Pemda, lahan itu merupakan lahan milik LIPI ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ) yang nota bene wilayah itu dilindungi oleh Undang-Undang. Sayangnya untuk satu truk pasir ataupun batu marmer yang harganya di pasaran sangat mahal, mereka hanya diharuskan membayar biaya retribusi sebesar Rp 6000,00. Tak terbayangkan keuntungan yang didapat oleh para pemilik pertambangan itu, dan betapa dirugikannya negara oleh aktifitas itu. Selain merugikan negara, aktifitas pertambangan itu juga mencemari lingkungan di sekitarnya. Menurut penduduk yang tinggal di sekitar area pertambangan itu, banyak anak kecil yang terjangkit ISPA ( Infeksi Saluran Pernafasan Atas ) yang disebabkan oleh gas buangan dari pertambangan itu. Kepulan asap dari mesin-mesin tambang juga menghembuskan gas-gas beracun yang berbahaya bagi mahluk hidup lainnya di sekitar area pertambangan itu. Banyak pohon di hutan yang rusak dan mati akibat terkena limbah buangan pertambangan itu.
Membuka hutan untuk permukiman juga menjadi salah satu penyebab rusaknya hutan di wilayah Kabupaten Kebumen. Tragisnya pembangunan perumahan KORPRI dan PEPABRI juga merupakan salah satu contoh pembukaan areal hutan sebagai lahan permukiman. Meskipun pembangunan permukiman itu mempunya tujuan mulia, namun hal itu tetap saja sulit untuk diterima. Percuma saja bila bangunan-bangunan megah itu harus rusak oleh banjir ataupun bencana lain yang disebabkan oleh pembangunan perumahan itu.
Tiga puluh lima persen areal hutan yang hilang adalah akibat konfersi hutan sebagai lahan pertanian. Dampak nyata akibat kerusakan hutan telah dapat kita rasakan antara lain banjir, kekeringan, erosi, longsor, sedimentasi dan sebagainya. Dampak lainnya yang juga kini mengancam manusia akibat laju kerusakan hutan adalah berkembangnya berbagai virus yang mematikan.Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. dr. Hadi S Alikodra, guru besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Menurutnya perkembangan virus flu burung yang telah merenggut puluhan jiwa orang Indonesia sejak dua tahun belakangan ini tidak lepas dari deforestasi yang tinggi di negeri ini. Menurut beliau, mikroba dan virus penyebab penyakit berbahaya akan aktif dan mati pada suhu tertentu, akibat deforestasi suhu udara rata-rata meningkat sehingga virus H5N1 berkembang lebih cepat.
Degradasi
Selain deforestasi, kerusakan hutan juga disebabkan oleh degradasi yang disebabkan oleh illegal logging, kebakaran hutan, over cutting, perladangan berpindah serta perambahan hutan.
Meskipun fenomena degradasi di Kabupaten Kebumen jarang terjadi, namun peristiwa degradasi di Kabupaten Kebumen masih dapat kita jumpai. Degradasi dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Yang pertama adalah illegal logging atau penebangan liar. Hal ini bukan hanya masalah bagi Kebumen, namun juga sudah menjadi masalah global yang merepotkan berbagai negara. Penebangan liar adalah masalah yang cukup pelik dan sulit dipecahkan. Meskipun POLHUT( Polisi Hutan) sudah ditempatkan dan disiagakan untuk menangani hal ini, namun para pelaku illegal logging tetap saja masih bisa menjalankan aksinya. Kebanyakan dari tindakan illegal logging dibantu oleh ”orang dalam” sehingga aksi mereka dapat berjalan dengan lancar.
Penebangan liar dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi dan biasanya dilakukan oleh banyak orang yang tergabung dalam suatu badan usaha, kayu hasil penebangan liar itu diperdagangkan ke luar kota maupun ke luar negeri. Penebangan liar ini menyebabkan hutan rusak lebih cepat. Jika tiap hari ada 5 pohon saja yang ditebang, dalam satu minggu ada 35 pohon yang ditebang, dan dalam sebulan ada 1225 pohon yang ditebang. Sedangkan untuk menumbuhkan 1225 pohon, dibutuhkan puluhan tahun untuk menumbuhkannya kembali.
Yang kedua adalah kebakaran hutan, kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam yaitu datangnya musim kemarau yang dapat memicu munculnya titik-titik api. Selain itu manusia juga mempunyai andil yang besar dalam beberapa kasus kebakaran hutan. Masyarakat yang membuka hutan untuk lahan pertanian membuka hutan dengan cara dibakar, selain itu tradisi masyarakat yang membakar ladangnya setelah panen juga mengakibatkan terbakarnya sebagian area hutan. Memang abu tumbuhan yang terbakar dapat dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanah, namun apakah kita akan sabar menunggu berpuluh-puluh tahun untuk pohon-pohon pengganti? Sementara fungsi hutan sebagai penyimpan air akan hilang sehingga air langsung ditumpahkan ke lingkungan kita sebagai banjir.
Yang ketiga adalah over cutting atau penebangan yang berlebihan. Penebangan yang berlebihan menyebabkan berkurangnya jumlah pohon secara cepat. Walaupun dilakukan penanaman kembali, tetap saja penebangan yang berlebihan tidak dapat ditolerir. Kita hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk menebang semua pohon yang ada di bukit-bukit di Kebumen, namun untuk menumbuhkannya kita membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Perladangan berpindah serta perambahan hutan juga merupakan salah satu sebab rusaknya hutan di kabupaten Kebumen. Perladangan berpindah sudah ada sejak manusia purba mulai mengenal sistem pertanian. Masalahnya setelah mereka membuka hutan untuk ladang pertanian, mereka tidak mengolah lahan itu kembali, namun mereka membuka lahan yang baru. Sementara itu mereka juga tidak melakukan penanaman kembali. Misalnya, awalnya seorang membuka lahan seluas 2 hektar, lalu tahun berikutnya 2 hektar lagi, maka apabila hal itu dilakukan secara berkelanjutan maka bukan tidak mungkin hutan kebumen yang luasnya 39.317,2 hektar bisa habis dalam waktu yang singkat. Barangkali para pelaku perusakan hutan tidak lagi peduli dengan kelangsungan lingkungan hutan.
Akibat hutan yang rusak
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi ”hutan adalah paru-paru dunia”, nampaknya ungkapan itu bukan hanya sebuah isapan jempol semata. Paru-paru merupakan organ pernafasan yang merupakan salah satu organ fital bagi manusia. Dari ungkapan di atas, kita dapat mengetahui bahwa hutan adalah suplier oksigen bagi dunia.
Salah satu akibat dari rusaknya hutan adalah pemanasan global atau global warming, pemanasan global adalah naiknya suhu rata-rata global. Ketika suhu meningkat, akan terjadi ketidakstabilan iklim dan perubahan iklim yang ekstrem.
Akibat dari perusakan hutan tidak hanya perubahan iklim global tetapi juga dapat berakibat tanah longsor, banjir, dan erosi. Disebutkan di atas bahwa salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyimpan air dan pencegah erosi. Apabila tidak ada lagi akar-akar tanaman yang berfungsi sebagai penahan air, maka air hujan yang jatuh ke bumi akan mendatngkan berbagai bencana. Data-data dari berbagai situs di internet melaporkan bahwa hampir setiap tahun, paling tidak sejak tahun 2000. Contohnya di sekitar sungai Kemit, Lukulo, Kedungbener, daerah kecamatan Karanganyar, Adimulyo, Puring, dan juga daerah lain yang memang rawan banjir. Daerah genangan banjir di Kebumen makin meluas. Tanggul Kali Kemit di Desa Tegalsari Adimulyo kembali jebol selebar 100 meter. Beberapa rumah warga hanyut dan rusak. Ratusan rumah di kanan kiri tanggul juga kritis. Warga harus siaga menghadapi banjir susulan karena tanggul beberapa sungai yang dinormalisasi belum sempurna. Tanah urug juga mudah longsor bila air deras datang. Jalan-jalan di Kecamatan Adimulyo banyak yang tertutup air. Paling parah di Desa Tegalsari yang dikurung banjir dari Kali Kemit, Kali Kethek, Kali Abang dan Kali Karanganyar. Kedalaman air di sawah mencapai 175 cm, di jalan 90 cm. Ratusan rumah penduduk juga tergenang. Ironisnya, meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi kian maju,namun hal ini terus berlanjut.
Selain banjir, pada musim kemarau debit air tanah berkurang drastis. Hal ini diakibatkan karena hutan-hutan yang ada di pegunungan hanya sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat menampung persediaan air yang cukup untuk musim kemarau. Daerah-daerah seperti kecamatan Karangsambung memang merupakan daerah yang ”sulit air” sehingga mereka mengandalkan air dari sumber mata air yang ada di puncak-puncak bukit di Kebumen.
Selain bencana banjir dan kekeringan, kerusakan hutan di Kebumen juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup flora dan fauna yang ada di hutan Kebumen. Kini hanya ada sekitar 5 ekor kera di sekitar bukit Condong, dan di wilayah pegunungan Karst Gombong Selatan, tepatnya di area gua Petruk populasi kera juga sangat memprihatinkan, kera di area itu hanya berkisar antara 3-10 ekor saja. Akibat dari rusaknya hutan juga berakibat pada hampir punahnya burung elang jawa di Kebumen. Konon, di Kebumen juga pernah hidup macan tutul dan macan jawa.
Upaya pencegahan
hutan merupakan obyek vital bagi masyarakat dunia, khususnya Kebumen. Meskipun upaya reboisasi sudah dilakukan. Barangkali itu saja belum cukup, karena akar permasalahan itu sendiri bukan pada hutan ataupun alamnya, akan tetapi pada manusianya. Memang manusia tidak dapat sepenuhnya disalahkan, tapi tidak dapat kita pungkiri bahwa andil manusia dalam hal rusaknya hutan amatlah besar.
Kita harus mulai belajar untuk menghargai alam sebagaimana alam sudah memberikan banyak hal kepada manusia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengefektifkan aparat keamanan, karena aparat keamanan yang dalam hal ini adalah Polisi Hutan merupakan alat yang dapat menekan pembalakan liar dan illegal logging. Selain pengamanan, pemerintah juga harus selalu cermat dalam memberikan ijin usaha. Sebagian besar pelaku pembalakan liar sudah mengantongi surat ijin sehingga aparat keamananpun tidak dapat berbuat banyak. Mungkin filosofi jawa juga dapat diterapkan dalam hal ini, yaitu,”sapa negor, nandur” yang artinya siapa menebang dia juga harus menanam. Jadi apabila kita menebang pohon, alangkah bijaksana bila kita menanam pohon sebagai pohon pengganti.